Simpang Amsterdam - Masih Terhiburkah Anda Menonton Topeng Monyet?

Topeng monyet punya sejarah panjang, dan mulai marak di Jakarta sejak tahun 1890. Jika Anda berkunjung ke Amsterdam, foto-fotonya bisa dilihat di Tropenmuseum. Ketika itu topeng monyet merupakan sirkus atau teater mini, bisa disaksikan antara lain monyet mengenakan kostum wayang.


Di masa sekarang, banyak yang memprotes atraksi ini dengan alasan penyiksaan binatang. Namun mereka yang mendukung mengatakan, topeng monyet adalah tradisi yang harus dilestarikan.

Dua tamu Simpang Amsterdam kali ini punya pendapat yang agak berbeda. Andro Buwono, mahasiswa jurusan Bisnis di Hogeschool InHolland mendukung topeng monyet di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena menurutnya hal ini tidak bisa dihindari.

Sementara Femke den Haas aktivis Jakarta Animal Aid Network, sangat anti, menurutnya topeng monyet sangat kejam.

Andro menuturkan, dia menghargai niatan orang-orang tertentu untuk bertahan hidup dengan cara apapun juga. Di Indonesia, terutama di ibukota, lapangan pekerjaan sangat sulit didapat, sementara pemerintah tidak bisa memberi solusi agar orang-orang ini bekerja di bidang lain.

Femke berargumen, sejak 2009 bukan lagi budaya atau tradisi, melainkan sudah jadi semcam kegiatan mafia yang dikoordinir bos-bos besar (di Jakarta cuma ada tiga). Atraksi ini juga melibatkan eksploitasi anak, bukan hanya monyet. Mereka harus menyewa monyet dan menyerahkan setoran. Jika setoran kurang, berarti mereka berhutang. Belum lagi monyetnya yang berada dalam kondisi mengenaskan, diikat, dipaksa bekerja, diberi makan sembarangan, dll.

Andro menyergah, kalau masalah antara monyet dan manusia, jika manusianya belum sejahtera, apakah realistis jika mendahulukan nasib monyet?

Simak lanjutan debat panas pedas cerdas yang dipandu Junito Drias kali ini.
sumber : www.rnw.nl